Warung Tinggi

Every town in Java (and other Indonesian islands as well) has their own coffee brand. Koffie Aroma from Bandung, Kapal Api from Surabaya, etc, have their own reputation regionally (and in some cases: internationally). Jakarta, as the first site in Indonesia where coffee trees were planted, has its own classical brand: Warung Tinggi.

The story began with a small food stall in Jakarta Kota (now named Jalan Hayam Wuruk), that sold local stuff to the neighbourhood. Each day, a woman visited the shop, carried fresh coffee bean in a basket on her head. The shop owner, Liauw Tek Siong, would buy the beans, traditionally roasted the coffee in a small pan, and sold the coffee. The coffee became famous, and Mr Liauw decided to open a new shop in 1878 to sell only coffee under a new brand: Tek Soen Hoo. This shop was then handed to his son, Liauw Tian Djie. This second Liauw stopped using pan, and started mechanizing the process using a roasting drum. Some years later, in 1938, they designed a logo for the coffee: a picture of a lady who originally sold them the coffee beans.

On Soe Har To’s new order era, the government discouraged the usage of chinese name or brand throughout the country. Liauw chose to change the brand of his coffee. Considering that his shop was famous as the highest food stall on the neighbourhood, he adopted the name Warung Tinggi (high shop) as his new brand.

The third generation took over the business in 1969, under Liauw Tiam Yan. The junior Liauw began packing his beans in aluminium foil instead of brown paper. In 1994, the production outpaced the capacity, and the roasting machines were moved out to Tangerang. In 2001, the Liauw family decided to split into two groups: one to continue with the Warung Tinggi brand, and the other to establish a new brand: Bakoel Koffie. Unfortunately, the Warung Tinggi brand was then sold to another investor. Now the Liauw’s fourth generation continues with the brand Bakoel Koffie.

If we are lucky, we can find both Warung Tinggi dan Bakoel Koffie brand in Jakarta. Sometimes we could also find Warung Tinggi with old package of brown paper, with label “Wartin” on it. It is another Indonesian culture: to make abbreviations of almost everything.

Reference: Gabriella Teggia, A Cup of Java.

Kapal Api

Go Soe Loet tiba dari Fujian di pulau Jawa sekitar awal abad ke-20. Bekerja sebagai pedagang, ia melihat banyak orang yang suka minum kopi. Jadi dia memutuskan untuk memulai bisnis kopi pada tahun 1927. Untuk mengingat bagaimana dia datang ke Jawa, dia memilih ‘Kapal Api’ sebagai merek bisnis kopinya. Untuk menurunkan harga agar masyarakat mampu membelinya, ia mencampurkan kopinya dengan jagung. Saat itu kopi dijual sebagai komoditas tanpa merek.

Pada tahun 1968, anak Go Soe Loet yang bernama Soedomo Mergonoto mulai bekerja sebagai tenaga pemasaran di perusahaan ayahnya. Dimulailah inovasi baru. Soedomo mengamati inovasi dari Unilever. Ketika perusahaan lain menjual sabun batangan panjang untuk dipotong, Unilever mulai menjual sabun batangan ukuran seragam yang telah dibungkus sebelumnya. Yang dianggapnya juga menarik, Unilever mengiklankan produknya! Ketika Soedomo mengambil alih perusahaan dari ayahnya pada tahun 1978, inovasi tersebut ia tiru pada produk kopinya. Dia membuat iklan dengan Paimo (saat itu seorang pelawak terkenal di Jawa Timur) yang digambarkan sedang mengambil secangkir kopi. Itu membuat hit, dan penjualan berlipat ganda dalam semalam. Dalam tiga bulan, Kapal Api menjadi perusahaan kopi terbesar di Surabaya.

Pada tahun 1982, Soedomo membeli mesin pemanggang 500 kg/jam dari Jerman, dengan asumsi mesin tersebut akan bekerja 7 jam/hari setelah beberapa tahun. Yang terjadi, mesin ini berjalan 24 jam/hari setahun kemudian. Dan segera, Kapal Api menjadi perusahaan kopi terbesar di Indonesia. Di tahap itu, mereka tidak memiliki rencana untuk memiliki perkebunan sendiri.

Pada tahun 1986 Pemerintah Indonesia menawarkan Kapal Api untuk mengambil alih perkebunan kopi tua di Gunung Kalosi di Sulawesi Tengah. Sebagai imbalannya, Kapal Api harus melakukan pengembangan kawasan. Sejak saat itu, Kapal Api mengelola semua bisnis kopi: perkebunan, pemanggangan, dan distribusi.

Kini Kapal Api mengoperasikan mesin roasting kopi terbesar di dunia (5 ton/jam). Namun, mesin 500 kg/jam yang lebih kecil masih beroperasi. Ini juga memiliki beberapa merek kopi utama di Indonesia (Excelso, Santos, dll), serta kafe Excelso yang terkenal. Di Sulawesi, Kapal Api telah membangun ratusan kilometer jalan dan 26 jembatan.

Bagi banyak orang Indonesia, kopi berarti Kapal Api. (Disarikan dari Gabriella Teggia: A Cup of Java)

Turning Coffee into Theorems

This one is taken from Chapter 92 of Mind Hacks, a book published by O’Reilly. PDF = oreilly.com/catalog/mindhks/chapter/hack92.pdf

After you’ve drunk a cup of tea or coffee, the caffeine diffuses around your body, taking less than 20 minutes to reach every cell, every fluid (yes, every fluid) of which you’re made. Pretty soon the neurotransmitter messenger systems of the brain are affected too. We know for certain that caffeine’s primary route of action is to increase the influence of the neurotransmitter dopamine, although exactly how it does this is less clear. Upshifting the dopaminergic system is something caffeine has in common with the less socially acceptable stimulants cocaine and amphetamine, although it does so in a different way.

Neurons use neurotransmitters to chemically send their signals from one neuron to the next, across the synapse (the gap between two neurons). There are many different neurotransmitters, and they tend to be used by neurons together in systems that cross the brain. The neurons that contain dopamine, the dopaminergic system, are found in systems dealing with memory, movement, attention, and motivation. The latter two are what concern us here.Via the dopaminergic system, caffeine stimulates a region of the subcortex (the brain beneath the cerebral cortex) called the nucleus accumbens, a part of the brain known to be heavily involved in feelings of pleasure and reward. Sex, food, all addictive drugs, and even jokes cause an increased neural response in this area of the brain. What happens with addictive drugs is that they chemically hack the brain’s evolved circuitry for finding things rewarding—the ability to recognize the good things in life and learn to do more of them.

The jury is still out on whether most caffeine addicts are really benefiting from their compulsion to regularly consume a brown, socially acceptable, liquid stimulant. While some killjoys claim that most addicts are just avoiding the adverse effects of withdrawal, it is more likely that most people use caffeine more or less optimally to help them manage their lives. One study even went so far as to say “regular caffeine usage appears to be beneficial, with higher users having better mental functioning.” So it’s not just pleasure-seeking, it’s performance-enhancing.

Coffee is strongly associated with two things: keeping you awake and helping you do useful mental work. In fact, it can even be shown to help physical performance. The association with creative mental work is legendary, although the cognitive mechanisms by which this works are not clear. As early as 1933, experiments had shown that a cup of coffee can help you solve chess problems, but the need for experiments has been considered minimal given the massive anecdotal evidence. As the mathematician Paul Erdös said, “A mathematician is a device for turning coffee into theorems.” Academics, designers, programmers, and creative professionals everywhere will surely empathize.

Kopi Jawa

Sebelum mulai dengan Java, kita mulai lagi dengan sejarah kopi. Terdapat sebuah versi lain sejarah kopi yang tidak melibatkan domba. Masih dari Ethiopia, kisah ini hanya dimulai dari Ali al-Shadili yang gemar meminum sari biji kopi untuk membuatnya tetap terjaga demi menjalankan shalat malam. Tak lama, kopi menjadi komoditas yang diekspor ke Eropa, terutama dari daerah Kaffa di Ethiopia. Orang Eropa menamainya mocha. Bijinya tidak boleh diekspor, kecuali sudah dalam keadaan terpanggang, dan tak dapat ditanam lagi. Tapi penyelundup selalu ada. Tak lama, penjajah di nusantara sudah mulai membudidayakan tanaman kopi di Jawa.

Di Jawa, kopi mula2 ditanam di sekitaran Jayakarta, meluas ke Jawa Barat, dan kemudian lebih diperluas ke Jawa Timur, serta kemudian ke luar Jawa. Varietasnya arabika. Sebuah pameran yang digelar di AS (dengan dana yang cukup besar, ditanggung industri kopi Jawa) membuat publik Amerika mulai mengenal kopi dan menjuluki minuman ini sebagai Java. Nusantara, khususnya Jawa, menjadi pengekspor kopi terbesar dan terbaik di dunia. Malangnya, terjadi wabah di tahun 1880an, yang memusnahkan kopi arabika yang ditanam di bawah ketinggian 1km dpl, dari Shri Lanka hingga Timor. Brasil dan Colombia mengambil alih peran sebagai eksportir kopi arabika terbesar, sampai kini. Sementara itu, varietas kopi di sebagian besar Jawa diganti dengan liberika. Tapi tak lama, wabah yang serupa memusnahkan varietas ini juga, sehingga akhirnya 90% kopi di Jawa diganti dengan varietas robusta, kecuali di tempat yang betul2 tinggi.

Setelah para penjajah didepak, kebun2 kopi dinasionalisasi dan/atau diprivatisasi. Adalah BUMN bernama PTPN XII yang kini mengelola kopi yang disebut sebagai Java Estate. PTPN XII yang mengelola beberapa perkebunan di pegunungan Ijen (Jawa Timur) hingga kini tetap memelihara varietas arabika dengan kualitas amat tinggi. Kebun2nya terletak di Blawan (2500 ha), Jampit (1500 ha), Pancoer (400 ha), dan Kayumas (400 ha), dengan ketinggian antara 900 hingga 1600 m dpl. Hasil tahunan mencapai sekitar 4 ribu ton biji kopi hijau. 85% biji diekspor sebelum dipanggang. Kalau kebetulan menjenguk Starbucks di Bandung, dan mengamati ada sekantung kopi berlabel Java Estate, nah itulah kopi Jawa yang berkeliling dunia sebelum kembali ke negerinya.

Di dekat kawasan PTPN XII, terdapat juga perkebunan Kawisari dan Sengon, dengan luas 880 Ha, dan ketinggian lebih rendah dibandingkan kebun2 milik PTPN XII. Kopinya 95% robusta, dan sisanya arabika. Hasilnya banyak digunakan untuk industri kopi di sekitar Jawa Timur. Di Jawa Tengah, di kawasan Losari yang dikelilingi tak kurang dari 8 gunung berapi, terdapat juga perkebunan Losari (d/h Karangredjo). Losari dimiliki Gabriella Teggia, warga Italia yang sudah menetap di Indonesia sejak 1965.

Tahun 2003, Gabriella Teggia inilah yang menulis buku A Cup of Java bersama Mark Hanusz. Buku keren ini bercerita tentang sejarah kopi hingga masuk ke Jawa, tentang sejarah kopi di Jawa (termasuk tentang Multatuli dan Max Havelaar-nya), tentang Java Estate (dan menyinggung juga kopi2 keren lainnya: Mandailing Sumatra, Kalosi Toraja, dll), tentang kopi panggangan Jawa (termasuk Kopi Warung Tinggi Jakarta, Kopi Aroma Bandung, Kopi Kapal Api, dll), serta tentang budaya ngopi di Jawa. Di bagian Appendix, buku ini menampik mitos tentang Kopi Luwak.

Starbucks sempat menelepon minggu lalu, menawarkan dua kopi istimewa untuk edisi khusus bulan ini: satu dari Sulawesi, dan satu dari Papua. Sementara menunggu kopi2 rasa nusantara itu (ingat Kopi Kampung), kita nikmati hari ini dengan Kopi Malang.

RFC 2324

Ada keterkaitan erat antara networker dan kopi. Maka, pada tanggal 1 April 1998, diterbitkanlah RFC 2324, tentang HTCPCP versi 1, dengan kepanjangan Hyper Text Coffee Pot Control Protocol. HTCPCP diturunkan dari HTTP, dengan tambahan beberapa metode baru, field baru pada header, dan return code yang baru.

Server HTCPCP diacu dengan prefiks coffee:. namun karena kopi sudah terdistribusi ke seluruh dunia sebelum standar ini diajukan, maka harus disiapkan internasionalisasi skema, dengan bentuk sebagai berikut:


coffee-url  =  coffee-scheme ":" [ "//" host ]
               ["/" pot-designator ] ["?" additions-list ]
coffee-scheme= ( "koffie"                  ; Afrikaans, Dutch
               | "q%C3%A6hv%C3%A6"          ; Azerbaijani
               | "%D9%82%D9%87%D9%88%D8%A9" ; Arabic
               | "akeita"                   ; Basque
               | "koffee"                   ; Bengali
               | "kahva"                    ; Bosnian
               | "kafe"                     ; Bulgarian, Czech
               | "caf%C3%E8"                ; Catalan, French, Galician
               | "%E5%92%96%E5%95%A1"       ; Chinese
               | "kava"                     ; Croatian
               | "k%C3%A1va                 ; Czech
               | "kaffe"                    ; Danish, Norwegian, Swedish
               | "coffee"                   ; English
               | "kafo"                     ; Esperanto
               | "kohv"                     ; Estonian
               | "kahvi"                    ; Finnish
               | "%4Baffee"                 ; German
               | "%CE%BA%CE%B1%CF%86%CE%AD" ; Greek
               | "%E0%A4%95%E0%A5%8C%E0%A4%AB%E0%A5%80" ; Hindi
               | "%E3%82%B3%E3%83%BC%E3%83%92%E3%83%BC" ; Japanese
               | "%EC%BB%A4%ED%94%BC"       ; Korean
               | "%D0%BA%D0%BE%D1%84%D0%B5" ; Russian
               | "%E0%B8%81%E0%B8%B2%E0%B9%81%E0%B8%9F" ; Thai
               )
   pot-designator = "pot-" integer  ; for machines with multiple pots
   additions-list = #( addition )

Lebih lanjut, silakan tengok spesifikasi HTCPCP di website IETF.

Page 4 of 4

Powered by WordPress & Theme by Anders Norén