Category: Coffee Page 1 of 2

Robusta Temanggung

Grinder ini sudah makin berumur. Dulu aku grinding 14 detik saja untuk menyiapkan bubuk untuk diproses dengan Mokka. Tapi kini diperlukan sekitar 20 detik grinding. Aroma kopi yang sangat akrab dan nyaman mengisi ruang. Sekilas terasa ada nuansa aroma coklat dan rempah-rempah pasar, seperti saat kita berjalan di pasar tradisional di Jawa. Inilah Robusta Temanggung.

Temanggung merupakan kawasan pegunungan di Jawa Tengah. Ketinggiannya memungkinkan penanaman kopi arabika. Namun di kawasan ini banyak ditanam juga kopi robusta, khususnya di lokasi yang relatif lebih rendah: Pringsut, Kranggan, Kaloran, Kandangan, Jumo, Gemawang, Candiroto, Bejen Wonoboyo. Sejarah kopi di Temanggung lebih banyak bercerita tentang penanaman di kebun-kebun kopi rakyat, alih-alih berupa perkebunan besar. Juga terdapat kebun kopi yang dikelola sebagai bagian dari kompleks biara katolik di Rawaseneng.

Robusta temanggung memiliki corak rasa berbeda dengan kebanyakan robusta lain. Rasa pahitnya pekat namun balance, dengan nuansa aroma rempah yang menenangkan. Keunikan ini mendorong banyak pembeli di mancanegara mencari kopi jenis ini.

Warkop Waw

Robusta Lampung memiliki reputasi mendunia, jadi aku sudah bayangkan kopi ini jadi ikon kebanggaan Lampung. Tapi Shane Sihombing, GM Witel Lampung, mengajak kami melihat kopi unggulan lampung ini secara spesifik di Warkop Waw.

Warkop Waw bukan hanya sekedar warkop. Ismail Komar — seorang jurnalis — dan istrinya — dr Endang — mengelola usaha produksi kopi, sejak pembinaan petani (yang dimulai dari pemilihan lahan perkebunan), pemilihan biji, pengolahan, roasting, dan seterusnya, hingga distribusi nasional. Komar kurang menyukai bisnis ekspor kopi, karena menurutnya justru kopi terbaik haruslah dikonsumsi di Indonesia dan jadi value bagi masyarakat Indonesia.

Sejarah dan posisi bisnis Komar didorong sejarah hidupnya. Sebagai jurnalis kelas berat, ia terbiasa hidup tak menghiraukan waktu, hingga terkena diabetes dan serangan-serangan sekunder yang tak kalah parah, hingga menjadi mirip mayat hidup bertahun-tahun. Salah dua yang akhirnya menyembuhkannya adalah ketelatenan sang istri yang merawat, serta terapi kopi. Setelah sehat, ia menekuni produksi kopi untuk menyehatkan masyarakat Indonesia.

Komar memilih kopi robusta (tetapi menyediakan kopi arabika juga). Namun robusta ini ditanam pada ketinggian 700 – 1200 mdpl. Biasanya ketinggian di atas 1000 mdpl sudah jadi bagian kopi arabika. Serangan hama karat yang lebih kecil — menurut Komar — mengurangi keharusan tanaman memproduksi zat yang bertujuan melawan penyakit tanaman, sehingga menghasilkan nutrisi yang lebih menyehatkan — termasuk kadar kafeinnya.

Komar dan Bu Dokter menemani kami hampir 2 jam penuh, setelah meninjau kesiapan jaringan dan fasilitas di Pulau Tegal Mas, Lampung. Ia memilih menghidangkan kopi dalam bentuk kopi tubruk. Sari kopi dengan kualitas terbaik — ujar Komar lagi — diperoleh cukup dengan menyerap sari dengan air yang cukup panas. Dengan effort ringan. Bukan dengan tekanan tinggi. Ini mengingatkanku pada produksi minyak zaitun, yang minyak kualitas tertingginya (extra virgin olive oil) justru didapat dengan perasan dengan tekanan yang tidak tinggi. Kualitas yang lebih rendah kemudian diperoleh dengan tekanan lebih tinggi. Sambil tertawa, Komar membenarkan perbandinganku.

Kopi seduhan karyawan Komar ini nyaman sekali. Balance. Tanpa sesuatu rasa apa pun yang mengganggu. Seolah memang diciptakan untuk badan kecilku yang sedang lelah dan kurang prima. Satu kegembiraan setelah cukup banyak hal-hal menarik di Lampung hari itu.

Konservasi Kopi Javara

Javara didirikan pada tahun 2008, dengan perusahaan bernama PT Kampung Kearifan Indonesia. Di Indonesia, brand Javara telah memiliki reputasi sebagai penyedia produk pertanian yang terkurasi dengan kualitas yang maksimal. Produk yang dikemas dan dipasarkan Javara meliputi produk beras, rempah dan berbagai bumbu, madu, dan kini juga kopi-kopi nasional.

Untuk produk kopi, Javara mengambil pendekatan melalui model konservasi yang mempertimbangkan sustainabilitas dan kelestarian lingkungan. Kebun-kebun kopi milik yang dikelola melalui kemitraan memiliki rupa yang menjadikanya bagian dari hutan hujan, bukan perkebunan yang mengambil alih fungsi hutan.

Kopi Javara ini diperoleh wilayah yang tersebar dari Aceh (Gayo), Batak, Jawa (Ciwidey, Pangalengan, Bandung, Garut), Bali, Flores, Sulawesi Selatan, hingga ke banyak wilayah lainnya.

Seluruh produk Javara dikemas secara profesional dan dipasarkan ke pasar kelas atas di perkotaan serta ke pasar 20 negara. Produknya konon berjumlah hingga 600-an dan melibatkan ribuan petani dan pengrajin industri pangan.

Covaré

Akhir tahun 2017, kami berada dalam persiapan sebuah kegiatan para BUMN di Paritohan, di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Suasana dingin berkabut, karena persiapan dimulai sejak dini hari. Namun tampak sebuah pemandangan indah di tengah kabut: PT PPI menyajikan kopi Toba. Di tengah kesegaran yang ditawarkan kopi panas Covaré itu, PPI memberikan kejutan dengan memberikan begitu saja kopi-kopi Toba Covaré kepada siapa pun yang mengaku pecinta kopi.

Lake Toba (Danau Toba), North Sumatra, Indonesia

Di tahun 2018, aku sempat beberapa kali bekerja sama dengan PPI, sebuah BUMN yang berfokus pada perdagangan umum dan khusus atas beraneka produk sejak dari hulu hingga hilir, baik lokal maupun lintas negara; bahkan beberapa kali berjumpa dengan Bapak Agus Andiyani, Dirut PPI yang sungguh visioner namun sangat rendah hati. Namun di awal 2019, kembali PPI teridentikkan dengan kopi.

Pada paruh pertama 2019 ini, para BUMN sedang mempersiapkan alat pembayaran bersama — LinkAja. LinkAja harus dapat digunakan di berbagai produk, layanan, event, dan situs BUMN. Termasuk di antaranya adalah rest area dan pom bensin di jalan tol. Kami tengah mempersiapkan soft launch sebuah rest area di KM 260 — sebuah kawasan bekas pabrik gula di Banjaratma, Brebes, bersama Direktur Pertamina Pak Mas’ud Khamid. Kawasan ini akan diujudkan sebagai kawasan wisata (transit-oriented development) yang memanfaatkan bekas instalasi pabrik gula. Hall besar di Banjaratma dimanfaatkan sebagai café, resto, dan penjualan produk nasional. Di tengah persiapan yang melelahkan, tampak café yang sangat rapi, dengan brand Covaré yang terkenal itu, dan masih buka di tengah malam. Sambil lelah, kami langsung menyerbu café itu, pesan brewed coffee Wamena, Gayo, dll. Setelah kesadaran agak pulih, kami baru sadar bahwa sang barrista di café itu tak lain dari Dirut PPI, Pak Agus Andiyani sendiri. Huwoooo.

Melayani curiosity kami, berceritalah Pak Agus. PPI memang mendapatkan tugas khusus dari Pemerintah RI untuk membina kawasan-kawasan rakyat yang potensial menghasilkan kopi bermutu sangat tinggi. Pembinaan diujudkan dengan menentukan kawasan pilot, memberikan pembinaan langsung kepada rakyat, memberikan bantuan benih dll, melakukan pendampingan dan menjaga keterjaminan mutu, hingga membeli kopi-kopi olahan rakyat itu, serta mengemasnya secara istimewa, dan mendistribusikannya ke seluruh dunia. Kawasan pembinaan lengkap dari Aceh hingga Papua.

Semakin istimewa rasanya kopi Covare ini.

Note: Covaré dapat diperoleh di Padi UMKM –> https://padiumkm.id/idfood

Kopi Hwie

Konon, kenyamanan menikmati kopi tidak selalu ditentukan oleh kualitas; tetapi juga oleh kebiasaan. Seorang rekan yakin bahwa kopi yang benar-benar kopi hanyalah Kapal Api. Dengan definisi semacam ini, buat aku yang tumbuh di kota Malang, rasa kopi standar adalah Kopi Hwie.

Di Pasar Klojen yang terletak di tengah kota Malang, terdapat toko Sido Mulia. Selain menjual kebutuhan rumah tangga, toko ini juga menjual kopi dengan merk Sido Mulia. Sido Mulia dikenal sebagai kopi yang memiliki rasa yang pekat dan aroma yang sangat khas, baik aroma kopi yang memenuhi toko maupun aroma kopi saat dijerang di rumah.

Perusahaan dan Toko Sido Mulia ini telah berdiri di Malang sejak tahun 1953. Pendirinya adalah Tjeng Eng Hwie. Banyak yang menyebut tokonya sebagai Toko Hwie, dan kopinya sebagai Kopi Hwie. Waktu masih tinggal di Malang, aku belum pernah baca ejaannya, dan cuma bisa menebak-nebak: Oei, Oey, atau Wie, hahaha. Kebijakan naturalisasi Pemerintah Indoenesia di awal 1960-an memaksa toko ini diubah namanya menjadi Sido Mulia, dan nama pemiliknya menjadi Witjaksono Tjandra. Saat ini, toko ini dikelola oleh generasi kedua, dipimpin Sonny Tjandra, dengan menjaga gaya tradisionalnya dalam pengolahan dan penjualan kopi.

Sido Mulia melakukan pemanggangan dan penggilingan kopi dengan standar mereka sendiri. Kemudian bubuk kopi dimasukkan ke dalam tong kedap udara. Rasanya dulu Sido Mulia hanya menjual kopi robusta. Biji kopi diperoleh dari perkebunan di daerah Dampit. Orang Malang pasti tahu daerah ini :). Namun kini mereka memproduksi juga kopi arabika yang diambil dari daerah sekitar Jember.

Tentu, sebagai kopi tradisional, Kopi Hwie lebih sedap dibrew. Dia ditargetkan untuk jadi kopi tubruk. Kalau dijadikan espresso, pahitnya terlalu kuat. Bisa dinetralkan dengan sedikit gula merah tapi.

Lain hari, kalau sempat berkunjung ke Malang, jangan cuma bawa apel dan tempe. Bawa juga Kopi Hwie yang pernah legendaris ini :).

Caswell's Java

Tapi memang seharusnya ada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah lainnya yang bisa menahan sekian persen produk Indonesia terbaik agar tetap dapat dipasarkan di Indonesia. Teh dan kopi misalnya :). Dengan lelang dan kontrak jangka panjang, teh dan kopi terbaik hampir seluruhnya diekspor. Dan untuk memperolehnya kembali, kita harus melakukan reimport, dalam jumlah yang tentu jauh lebih kecil. Harganya jadi menarik, karena sudah terbebani sekian kali tarif dan bea ekspor dan impor di setidaknya dua negara :). Biarpun tidak secara khusus, Starbucks melakukan reimpor kopi-kopi Indonesia, agar pengunjung asing dapat memperoleh suasana Indonesia dengan kopi Indonesia di Starbucks Indonesia. Importir lain yang cukup menarik adalah Caswell’s.

Cabang Caswell’s Café pertama di Indonesia dibuka di Kemang tahun 2000. Di sini, didapati bahwa banyak pengunjung yang menginginkan kopi Indonesia, yang tentu dipilih dari kualitas terbaik. Henry Harmon, pemilik Caswell’s, memutuskan memenuhi permintaan itu. Ia mengikuti pelatihan2 untuk menyiapkan kopi berkualitas tinggu, lalu mengimpor pemanggang kopi Diedrich Roaster dari US. Barulah ia melakukan reimpor kopi-kopi Java dari Seattle.

Aku sendiri bukan penganut gaya hidup Kemang :). Jadi malah belum berminat datang ke café itu. Sua pertama dengan kopi Caswell’s justru terjadi di Urban Kitchen Pacific Place, tempat Caswell’s sempat menempatkan café kecil. Di sana dijual juga biji2 kopi yang ditempatkan di stoples kaca. Ada Java Mocha, ada Java Jampit, dll. Pada Abang Barista, aku tanya bedanya, dan sambil senyum malu, di mengakui bahwa dia nggak tahu bedanya. Aku harus coba dua2nya. Haha. Mungkin aku yang harus cerita ke Abang Barista bahwa Jampit adalah nama salah satu perkebunan di Gunung Ijen yang menghasilkan Java Arabica. Jadi nama itu mengimplikasikan kopi arabica yang 100% berasal dari Jampit. Homogen. Sedangkan Java Mocha, mungkin hasil blend.

Di sebelah East Mall Grand Indonesia ada Ranch Market baru. Di sana aku bersua Caswell’s lagi. Kali ini sudah dalam kemasan kedap udara yang rapi, berwarna hitam, dengan label stiker yang berisi jenis kopi, lengkap dengan penjelasannya. Java Mocha ternyata adalah blend dari Java dengan sedikit tambahan dari Abyssinia (tempat kopi mocha yang asli berasal). Aku ambil dua bungkus kemasan seperempat kilo, satu Java Jampit dan satu Java Mocha.

Si Java Mocha menemaniku sahur dari hari pertama Ramadhan tahun ini. Digiling 13,7 detik dengan grinder kecilku, terus disedu dalam cafetière selama 5 menit. Perfect taste. Memang soal rasa itu subyektif, jadi aku juga nggak banyak bahas di blog ini :). Tapi ini terasa pas sekali untuk menutup sahur, sekaligus mencatu darah dengan kafein sepanjang hari-hari Ramadhan.

Aged Sumatra

Kolonialis Belanda memang mula-mula menanam kopi arabika di Jawa; dan menginternasionalkan nama “Minuman Java” ke publik Amerika dua abad yang lalu. Namun tak lama budidaya kopi arabika diekspansi juga ke Sumatra dan Sulawesi. Dan bencana. Hama yang meluas membuat sebagian besar kebun kopi di Nusantara hancur dan digantikan oleh kopi robusta yang lebih tahan hama, meninggalkan kebun-kebun arabika hanya di puncak-puncak gunung yang tinggi.

Kopi Sumatra memiliki reputasi internasional yang khas. Dibandingkan kopi Indonesia lainnya, kopi Sumatra terasa lebih kuat, lebih keras. Di Indonesia sendiri, nama Kopi Aceh (Gayo), Kopi Medan (Sidikalang), Kopi Lampung, dll, diasosiasikan sebagai kopi keras. Apakah orang Sumatra juga lebih dinamis? Haha, ini diskusi lain :).

Para kolonialis dulu menyimpan biji-biji kopi Sumatra di gudang-gudang mereka, lalu membawanya melalui kapal-kapal dalam bentuk biji mentah. Perjalanan laut membawa kopi Sumatra dalam jumlah besar, bersama dengan berbagai rempah dan hasil bumi lainnya. Aroma kopi berpadu dengan aroma kayu, rempah, uap lautan, dan suhu yang tidak ramah, dalam waktu mencapai tahunan; menghasilkan biji kopi tua (aged coffee) dengan cita rasa khas, dan kualitas yang justru makin baik.

Pecinta Kopi Aroma di Bandung tentu juga sering dipameri, bahwa kopi di sana disimpan dulu hingga 7 tahun baru kemudian dipanggang dan diolah — menghasilkan reputasi Kopi Aroma yang luar biasa di Indonesia.

Akhir tahun lalu, Starbucks mencoba mereproduksi kopi “Aged Sumatra” ini. Kopi-kopi Sumatra (Sumatra, Sumatra Decaf, BAE Sumatra Siborong-Borong) pun sebenarnya memiliki reputasi sebagai kopi “lebih bold daripada yang bold” di antara kopi-kopi Starbucks lainnya. Namun mereka mencoba membuat Kopi Sumatra yang lebih kuat lagi. Kopi-kopi Sumatra ini disimpan hingga 5 tahun dalam gudang terpisah dalam lingkungan alami mereka, baru kemudian diolah.

Hasilnya konon adalah kopi dengan aroma bernuansa pohon cedar yang dinamis, perasaan tebal dan kental, dan rasa yang kuat. Tapi itu adalah menurut beberapa yang sudah merasai. Kita sendiri harus cobai untuk bisa menunjukkan bedanya kopi cita rasa Indonesia ini dibandingkan kopi-kopi terkenal lainnya.

Starbucks sendiri memberikan tag: A bold, exotic coffee from a land of tigers and spices … our boldest cup to date.

Tambahan: Ternyata, berbeda dengan yang digambarkan, kopi ini lembut tak menghentak. Sedap :)

Arabika Bali

Kunjungan ke Bali minggu lalu, biarpun amat singkat, tapi cukup berkesan. Aku menghabiskan pagi bersarapan di Pantai Sanur yang sepi (hotelnya tepat di sebelah pantai), hanya ditemani sepasang orang Jepang dan sekeluarga orang Inggris. Sorenya, aku menikmati matahari terbenam di Kuta, ditemani Mas Dhani. Balik melalui Centro Kuta, aku terantuk sebuah kantong merah. Tulisannya “Bali Arabica” :). Otomatis aku bertanya ke neng yang menjagai: “Arabika Bali di mana ditanamnya?” Dia cuma menggeleng acuh. Aku ambil kantong merah itu.

Bali-Coffee

Hari ini aku coba Kopi Bali Arabika itu. Lembut mirip Java (arabica). Ini menarik. Di Indonesia tak banyak tempat yang memungkinkan menanam kopi arabika lagi, dan aku pikir aku sudah tahu seluruh tempatnya :). Tapi Bali? Googling sejenak, aku menemukan tulisan Aluns Evan, pakar kopi dari New Zealand yang banyak memahami kopi Indonesia. Di bawah ini ringkasannya.

Kopi Bali umumnya robusta. Perkebunan penjajah Belanja tidak meluas ke Bali, karena Belanda tidak pernah benar2 menguasai Bali hingga awal abad ke-20. Saat itu perkebunan kopi sudah meluas di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Robusta Bali kemungkinan besar datang melalui pedagang Ampenan di Lombok. Kondisi Bali ideal untuk pohon kopi, dan produksi skala kecil dengan cepat menyebar daerah tinggi di Bali.

Jatuhnya harga robusta membuat orang mulai mencoba menanam arabika. Beberapa perkebunan komersial mencobainya juga, tetapi sebagian besar yang membudidayakan arabika adalah kebun-kebun kecil di lereng gunung berapi di tengah pulau Bali. Proses pasca tanam dan sebagianya dilakukan para petani melalui koperasi-koperasi. Posisi yang tidak terlalu tinggi memang membuat kopi arabika ini mirip kopi Java yang lembut dan agak berasa melon (honeydew).

Tulisan asli Aluns Evan: Klik di sini

Kembalinya Kopi Kampung

Baru aku berceloteh tentang La Tazza, ada pesan di dinding facebook dari Taufik — seorang barista di Sbux BIP. Ada satu pak BAE yang sudah dicadangkan buatku: Sulawesi Toraja. Menarik, karena BAE (black apron exclusive) sebelumnya juga kebetulan dari Indonesia: Sumatra Siborongborong. Biasanya BAE itu bergantian dari satu ujung dunia ke ujung yang lain. OK, jadi aku janji ambil ke Bandung, kalau sempat.

Aku takjub waktu akhirnya benar2 ke Bandung. Tampilan BAE ini memberiku nuansa déjà vu. Wow, ini Kopi Kampung. Bukan hanya warna kemasan hijau toska itu benar2 Kopi Kampung; tetapi juga semua gambar dan keterangan di dalamnya. Yang berbeda hanya bahwa BAE ini dinamai Sulawesi Toraja. Sedikit ingat bahwa aku pernah baca nama Kopi Kampung di tempat lain. Barangkali — sekedar barangkali — Starbucks terpaksa memilih nama lain agar tak ada tuntutan hak cipta. Masih agak ragu bahwa ini benar2 jelmaan Kopi Kampung, aku hanya ambil 1 pak, dan membawanya pulang.

Di rumah aku bandingkan lagi kemasannya. Selain namanya, semuanya 100% mirip.

Baru pagi ini (sudah di Jakarta), aku punya kesempatan untuk menggiling biji kopi hitam berkilauan itu. Dijerang dengan French press, dan disajikan tanpa gula, aromanya langsung terasa beda dengan kopi Sulawesi Toraja Starbucks yang biasa. Mirip Kopi Kampung? Barangkali. Kopi Kampung cuma ada di memori, dan memori bisa salah. Jadi, acara mencicipi pun dimulai. Bukan dengan upacara, karena mata malah sibuk memantau Twitter :).

Kopi Indonesia memang luar biasa. Diolah dengan cara yang sama istimewanya, Kopi Indonesia terasa jauh lebih istimewa dibandingkan misalnya Brasil, Colombia (yang banyak dipuja pecinta kopi itu), atau kopi2 Afrika. Kopi Kampung, eh Sulawesi Toraja ini benar2 mengubah pagi ini menjadi menyenangkan untuk dimulai. Entah kenapa aku jadi ingat Rhapsody in Blue dari Gershwin, yang menyentuh ramah tapi tegas. Aku pernah menulis bahwa Kopi Kampung memang salah satu yang terbaik di dunia. Ya, aku masih akan mempertahankan pendapat ini.

Kopi Toraja ini seharusnya dijaga untuk terus mendefinisikan BAE Starbucks. Sumatra Siborongborong dan Costa Rica Lomas Rio masuk deretan berikutnya. Tapi yang semacam Zambia Terranove sebaiknya dilupakan saja :).

La Tazza Cassablanca

Mal Ambassador terletak di kawasan Cassablanca, Jakarta. Lantai 1 hingga 3 berisi berbagai alat elektronika dan gadget masa kini. Lantai 4 tempat foodcourt dan beberapa café. Di sinilah terletak Café La Tazza. Cafénya nyaman, membuat kita lupa bahwa kita masih berada di tempat perbelanjaan. Tapi yang lebih menarik adalah coffee boothnya.

Di coffee booth La Tazza kita bisa membeli berbagai biji kopi dari nusantara. Aceh Gayo, Sumatra Lintong, Lampung, Java Jampit, Toraja, Flores, hingga Papua. Semuanya dalam bentuk biji yang telah dipanggang dengan sempurna. Mereka juga menyediakan kopi-kopi luwak — tapi yang ini tak terlalu menarik buatku.

Cara membeli kopinya mirip kopi tradisional. Kita tinggal memilih kopi, lalu mereka menimbang, menggiling (kecuali kalau kita minta untuk tidak digiling), dan membungkusnya dalam kantung kedap udara.

Yang agak lucu di La Tazza adalah bahwa mereka hanya mau menjual kopi dalam ukuran 100 gram. Waktu aku mencoba beli Kopi Aceh, aku tidak boleh membeli kopi seberat seperempat kilogram. Aku diminta memilih antara 200 gram atau 300 gram :). Terpaksa aku ambil 200 gram. Box kopi di rumah hanya mampu menampung 250 gram. Tapi yang lebih lucu waktu di lain hari aku beli kopi Papua. Kopinya tinggal sedikit, sekitar 80 gram. Dan karena kurang dari 100 gram, mereka berkeberatan menjualnya. Jadi aku harus pilih kopi yang lain.

Harga kopi relatif murah untuk ukuran Kopi Arabika yang masih dalam bentuk biji dan terpanggang baik), yaitu sekitar 25.000 per 100 gram. Kopi Java-nya terasa lebih Njavani daripada misalnya Excelso Java. Mungkin kalah dari Java Estate dari Starbucks. Tapi Java Estate harganya di atas dua kali lipat La Tazza. Agak-agak sebanding dengan Java Jampit dari Caswell.

Tahu nggak? Aku selalu berfikir bahwa La Tazza benar2 menerapkan teori kuantum.

Page 1 of 2

Powered by WordPress & Theme by Anders Norén