Category: Knowledge

Jangan-Jangan, Kopi Baik Buat Jantung

Peringatan: Artikel ini tidak menggantikan, menambahi, dan tak tak dapat dibandingkan dengan nasehat dan konsultasi dokter.

Aku mendadak terantuk ke tulisan lama (17 Juni 2008) di Boing-Boing. Konon waktu itu ada sebuah penelitian justru menunjukkan bahwa peminum kopi justu lebih rendah kemungkinannya meninggal karena penyakit-penyakit seperti serangan jantung, stroke, dan aritmia. Hmmm, apakah ini kausalitas? Dan kalau ya, ke arah mana? Haha.

Edidemiologists dari Universitas Madrid telah menganalisis data dari lebih dari 120.000 pria dan wanita. Menurut penelitian mereka, perempuan yang minum empat atau lima cangkir kopi dalam sehari mengalami kemungkinan 34 persen lebih kecil untuk mati akibat penyakit jantung. Pria yang minum lebih dari lima cangkir sehari itu 44 persen lebih kecil kemungkinannya untuk ditaklukkan penyakit jantung. Namun, ada terlalu banyak variabel dan anasir tak diketahui dalam penelitian ini, sehingga belum dirasa patut untuk dijadikan rekomendasi pengobatan.

Sang peneliti, Esther Lopez-Garcia, berspekulasi bahwa senyawa anti-inflamasi yang ditemukan dalam kopi mungkin berpengaruh atas manfaat kesehatan ini. Walaupun tingkat kafein yang tinggi dapat meningkatkan kemungkinan menderita serangan jantung dengan meningkatkan tekanan darah, katanya, namun … “hipotesis kami adalah bahwa kafein memiliki efek jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, aspek lain dari kopi adalah lebih kuat.”

Patut diperhatikan bahwa banyak penelitian lain yang justru menunjukkan hasil yang sebaliknya. Pada tahun 2007, Epidemiolog Francesco Sofi dari Universitas Florence menganalisis lebih dari 20 penelitian yang berkaitan dengan kopi dan kesehatan, dan menemukan hanya sedikit kesepakatan. Mungkin ini juga terkait dengan genetika. Pada tahun 2006, sebuah tim peneliti Kanada menemukan bahwa orang dengan mutasi pada gen yang berkait dalam metabolma kafein memiliki tingkat serangan jantung yang lebih tinggi dibandingkan orang tanpa mutasi.

Kopi Menurunkan Fibrosis Hati?

Peringatan: Artikel ini tidak menggantikan, menambahi, dan tak tak dapat dibandingkan dengan nasehat dan konsultasi dokter.

Sebuah berita dari UPI yang diretweet oleh Pak Nukman menyampaikan kesimpulan dari para peneliti, bahwa pasien penyakit hati (liver) — yang diakibatkan virus hepatitis C kronis — yang mengkonsumsi sekitar 2 cangkir kopi berkafein setiap hari akan mengalami penurunan tingkat fibrosis hati. Peneliti utama Dr Apurva Modi dkk dari National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases menemukan bahwa untuk pasien dengan virus hepatitis C kronis, sumber-sumber kafein lain tidak memiliki efek terapi yang sama.

Fibrosis hati, atau jaringan parut pada hati, adalah tahap kedua dari penyakit hati, yang dicirikan oleh kerusakan fungsi hati akibat akumulasi jaringan ikat.

Dari Januari 2006 hingga November 2008, semua pasien dievaluasi di Cabang Penyakit Hati di Institut Kesehatan Nasional. Mereka diminta mengisi kuesioner untuk menentukan konsumsi kafein. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan: minuman biasa atau diet; kopi biasa atau kopi tanpa kafein; teh hitam, hijau, atau herbal; dan pertanyaan2 lain yang berkait dengan konsumsi kafein. Hasilnya adalah kesimpulan bahwa efek yang menguntungkan ini memerlukan konsumsi kafein di atas ambang batas sekitar 2 cangkir kopi atau setara setiap hari. Kesimpulan lain adalah bahwa konsumsi soda, teh hitam, teh hijau atau bahan lain yang mengandung kafein tidak berhubungan dengan pengurangan fibrosis hati. Penelitian ini lalu diterbitkan dalam jurnal Hepatology.

Kimia Kopi

Ini disadur dari tulisan bertajuk “Enjoy the Rich Arome of Putrid Meat” di majalah Wired, edisi Oktober 2009. Barangkali ada edisi webnya juga. Tapi aku belum lihat, dan maka belum bisa tuliskan urlnya.

Jadi, apa saja yang terkandung di dalam secangkit kopi hitam pekat nan pahit mempesona itu? Selain air, ini dia:

  • Kafein. Seperti nikotin dan kokain, kafein adalah alkaloid, yaitu racun yang diproduksi tanaman. Racun imenutupi receptor syaraf yang menerima adenosin, yaitu sinyal kimiawi tidur. Akibatnya: kita bangun :).
  • 2-Etilfenol. Senyawa berbau tar. Benda ini juga ditemukan di feromon pada kecoa — senyawa yang mereka gunakan sebagai alarm tanda bahaya bagi kelompoknya.
  • Quinic Acid (Asam Kina?). Ini yang memberi kopi sedikit rasa asam. Tapi senyawa ini juga digunakan sebagai starter pada Tamiflu.
  • 3,5 Dicaffeoyl-Quinic Acid. Ini antioksidan di dalam kopi. Saat para ilmuwan mengenakan senyawa ini pada neuron, sel-sel itu meningkat daya lindungnya terhadap kerusakan dari radikal bebas.
  • Asetilmetil-Karbinol. Rasa mentega yang kaya pada kopi itu berasal dari cairan kuning yang mudah menyala ini.
  • Putrescine. Kenapa daging busuk beracun? Bakteri E. coli mengurai asam amino menjadi putrescine, yang terdapat secara alami di dalam biji kopi ini. Baunya … tebak sendiri.
  • Trigonelline. Ini molekul niacin yang melekat pada kelompok metil. Ia terurai menjadi pyridin, yang memberi kopi rasa agak manis, aroma tanah, dan mencegah bakteri Streptocollus mutan perusak gigi itu untuk melekat di gigi. Ya, kopi menyehatkan gigi.
  • Niacin. Trigonelline tidak stabil pada suhu di atas 70ºC, dan dapat terurai menjadi niacin — vitamin B — di cangkir kita. Dua cangkir kopi memenuhi setengah kebutuhan vitamin B harian kita.

Kopi untuk Melawan Alzheimer

Rosemary Black menulis di NY Daily News bahwa secangkir kopi yang kita minum itu bukan hanya menyegarkan pikiran, tetapi juga mengurangi laju berkurangnya memori. Kepikunan, dalam arti menurunnya memori, adalah ciri utama penyakit Alzheimer.

Sayangnya, test ini baru dilakukan pada tikus lab. Pada riset yang dipublikasikan di Journal of Alzheimer’s Disease ini, tikus-tikus itu diberi menu yang setara dengan 500 mg kafein per hari. Teramati bahwa pada tikus dengan gejala setara Alzheimer, konsumsi kafein sejumlah itu akan menurunkan hingga 50% tingkat pengurangan protein yang menjadi aspek kunci penyakit itu. Dua bulan kemudian, tikus-tikus itu menunjukkan hasil tes memori yang jauh lebih baik dibandingkan tikus pembanding. Dr Jennifer Ashton (bukan Jennifer Aniston loh) menyimpulkan dari tes itu,  bahwa teramati “a very positive effect on their memory and thinking actions over a two-month period.”

Angka “setara 500mg” itu sudah dinormalisasi untuk berat tikus. Untuk manusia, agar mencapai efek yang sama, akan diperlukan konsumsi kafein 500mg per hari. Ini sama dengan 14 cangkir teh, atau 2 cangkir kopi ekstra keras :). Gary Arendash, neuroscientist yang bekerja pada riset itu, menyebutkan, “Caffeine could be a viable treatment for established Alzheimer’s disease, and not simply a protective strategy. That’s important because caffeine is a safe drug for most people.”

Tapi Eric Hall, CEO dari Alzheimer’s Foundation of America memberikan peringatan: “A human being’s brain processes very differently than a mouse’s brain, so the public has to be cautious. This is a first step, but there are a lot more steps to be done. We are hopeful, but many failed clinical trials can testify to the fact that what works in mice doesn’t always work in humans.”

Lou-Ellen Barkan, CEO dari New York City chapter of the Alzheimer’s Association memberikan nada serupa. “All research is promising and anything that shows efficacy in the lab is worth exploring. Caffeine, while it’s a drug, is something that many of us take every day. That would be a nice outcome if all you had to do to prevent Alzheimer’s was drink two cups of coffee a day.”

Namun jangan dilupakan bahwa kafein tetap memiliki efek samping. Wanita hamil, pengidap darah tinggi, dan mereka yang dilarang dokter untuk mengkonsumsi kopi; tidak dianjurkan langsung mengimplementasikan riset baru ini. Dokter kita tetap lebih terpercaya daripada artikel di majalah atau tulisan di blog :).

Vietnam

Brasil is apparently famous as the biggest coffee exporter. But only a few people know that the second position is held by Vietnam. Vietnam has a long history on coffee. When the Dutch was inhumanly forcing its kulturstelsel (never mind the spell — it is never important) in Nusantara (now Indonesia), the French colonist also started their own coffee plantations in Indochina, in the 19th century. Under communist government, however, Vietnamese coffee had been forgotten. Almost.

Since 1990s, when Vietnam redefined its interpretation of communism, they changed the way of development and management. They have been remanaging the coffee plantation, and then reexporting its beans worldwide. Vietnam’s coffee export got almost tripled only in four years, rising from 3,938 of 60 kg bags of coffee exported in 1995 to 11,264 of 60 kg bags in 1999. Almost all is of robusta variety, like here in Indonesia.

Generally, Vietnam’s coffee is valued lower in grade than that of other countries. But they have acknowledged the problem, and started to overcome it. For example, a state plan was issued, mentioning the country’s plan to diversify its robusta-saturated coffee growth and output, growing more arabica in its northern region.

They also started some other plans to attract the attention of premium coffee lovers. One of Vietnam’s domestic offerings, “civet coffee,” has the potential to appeal to the palates of high-end drinkers the world over. Civet coffee was originally made from coffee beans that had been eaten and excreted by civets, enhancing the taste of the beans. In Indonesia, the beans are called “kopi luwak.” A chain of coffee shops in Vietnam specializes in civet coffee, although these days the beans never see a civet’s insides, rather going through a synthetic process intended to simulate the effects of a journey through the civet’s digestive tract. They expect it to be as good as the real thing. While the owner of this chain has contemplated an international expansion of his business, citing possible franchises in Japan and New York City, the chain remains exclusively in Vietnam.

Turning Coffee into Theorems

This one is taken from Chapter 92 of Mind Hacks, a book published by O’Reilly. PDF = oreilly.com/catalog/mindhks/chapter/hack92.pdf

After you’ve drunk a cup of tea or coffee, the caffeine diffuses around your body, taking less than 20 minutes to reach every cell, every fluid (yes, every fluid) of which you’re made. Pretty soon the neurotransmitter messenger systems of the brain are affected too. We know for certain that caffeine’s primary route of action is to increase the influence of the neurotransmitter dopamine, although exactly how it does this is less clear. Upshifting the dopaminergic system is something caffeine has in common with the less socially acceptable stimulants cocaine and amphetamine, although it does so in a different way.

Neurons use neurotransmitters to chemically send their signals from one neuron to the next, across the synapse (the gap between two neurons). There are many different neurotransmitters, and they tend to be used by neurons together in systems that cross the brain. The neurons that contain dopamine, the dopaminergic system, are found in systems dealing with memory, movement, attention, and motivation. The latter two are what concern us here.Via the dopaminergic system, caffeine stimulates a region of the subcortex (the brain beneath the cerebral cortex) called the nucleus accumbens, a part of the brain known to be heavily involved in feelings of pleasure and reward. Sex, food, all addictive drugs, and even jokes cause an increased neural response in this area of the brain. What happens with addictive drugs is that they chemically hack the brain’s evolved circuitry for finding things rewarding—the ability to recognize the good things in life and learn to do more of them.

The jury is still out on whether most caffeine addicts are really benefiting from their compulsion to regularly consume a brown, socially acceptable, liquid stimulant. While some killjoys claim that most addicts are just avoiding the adverse effects of withdrawal, it is more likely that most people use caffeine more or less optimally to help them manage their lives. One study even went so far as to say “regular caffeine usage appears to be beneficial, with higher users having better mental functioning.” So it’s not just pleasure-seeking, it’s performance-enhancing.

Coffee is strongly associated with two things: keeping you awake and helping you do useful mental work. In fact, it can even be shown to help physical performance. The association with creative mental work is legendary, although the cognitive mechanisms by which this works are not clear. As early as 1933, experiments had shown that a cup of coffee can help you solve chess problems, but the need for experiments has been considered minimal given the massive anecdotal evidence. As the mathematician Paul Erdös said, “A mathematician is a device for turning coffee into theorems.” Academics, designers, programmers, and creative professionals everywhere will surely empathize.

Kopi Jawa

Sebelum mulai dengan Java, kita mulai lagi dengan sejarah kopi. Terdapat sebuah versi lain sejarah kopi yang tidak melibatkan domba. Masih dari Ethiopia, kisah ini hanya dimulai dari Ali al-Shadili yang gemar meminum sari biji kopi untuk membuatnya tetap terjaga demi menjalankan shalat malam. Tak lama, kopi menjadi komoditas yang diekspor ke Eropa, terutama dari daerah Kaffa di Ethiopia. Orang Eropa menamainya mocha. Bijinya tidak boleh diekspor, kecuali sudah dalam keadaan terpanggang, dan tak dapat ditanam lagi. Tapi penyelundup selalu ada. Tak lama, penjajah di nusantara sudah mulai membudidayakan tanaman kopi di Jawa.

Di Jawa, kopi mula2 ditanam di sekitaran Jayakarta, meluas ke Jawa Barat, dan kemudian lebih diperluas ke Jawa Timur, serta kemudian ke luar Jawa. Varietasnya arabika. Sebuah pameran yang digelar di AS (dengan dana yang cukup besar, ditanggung industri kopi Jawa) membuat publik Amerika mulai mengenal kopi dan menjuluki minuman ini sebagai Java. Nusantara, khususnya Jawa, menjadi pengekspor kopi terbesar dan terbaik di dunia. Malangnya, terjadi wabah di tahun 1880an, yang memusnahkan kopi arabika yang ditanam di bawah ketinggian 1km dpl, dari Shri Lanka hingga Timor. Brasil dan Colombia mengambil alih peran sebagai eksportir kopi arabika terbesar, sampai kini. Sementara itu, varietas kopi di sebagian besar Jawa diganti dengan liberika. Tapi tak lama, wabah yang serupa memusnahkan varietas ini juga, sehingga akhirnya 90% kopi di Jawa diganti dengan varietas robusta, kecuali di tempat yang betul2 tinggi.

Setelah para penjajah didepak, kebun2 kopi dinasionalisasi dan/atau diprivatisasi. Adalah BUMN bernama PTPN XII yang kini mengelola kopi yang disebut sebagai Java Estate. PTPN XII yang mengelola beberapa perkebunan di pegunungan Ijen (Jawa Timur) hingga kini tetap memelihara varietas arabika dengan kualitas amat tinggi. Kebun2nya terletak di Blawan (2500 ha), Jampit (1500 ha), Pancoer (400 ha), dan Kayumas (400 ha), dengan ketinggian antara 900 hingga 1600 m dpl. Hasil tahunan mencapai sekitar 4 ribu ton biji kopi hijau. 85% biji diekspor sebelum dipanggang. Kalau kebetulan menjenguk Starbucks di Bandung, dan mengamati ada sekantung kopi berlabel Java Estate, nah itulah kopi Jawa yang berkeliling dunia sebelum kembali ke negerinya.

Di dekat kawasan PTPN XII, terdapat juga perkebunan Kawisari dan Sengon, dengan luas 880 Ha, dan ketinggian lebih rendah dibandingkan kebun2 milik PTPN XII. Kopinya 95% robusta, dan sisanya arabika. Hasilnya banyak digunakan untuk industri kopi di sekitar Jawa Timur. Di Jawa Tengah, di kawasan Losari yang dikelilingi tak kurang dari 8 gunung berapi, terdapat juga perkebunan Losari (d/h Karangredjo). Losari dimiliki Gabriella Teggia, warga Italia yang sudah menetap di Indonesia sejak 1965.

Tahun 2003, Gabriella Teggia inilah yang menulis buku A Cup of Java bersama Mark Hanusz. Buku keren ini bercerita tentang sejarah kopi hingga masuk ke Jawa, tentang sejarah kopi di Jawa (termasuk tentang Multatuli dan Max Havelaar-nya), tentang Java Estate (dan menyinggung juga kopi2 keren lainnya: Mandailing Sumatra, Kalosi Toraja, dll), tentang kopi panggangan Jawa (termasuk Kopi Warung Tinggi Jakarta, Kopi Aroma Bandung, Kopi Kapal Api, dll), serta tentang budaya ngopi di Jawa. Di bagian Appendix, buku ini menampik mitos tentang Kopi Luwak.

Starbucks sempat menelepon minggu lalu, menawarkan dua kopi istimewa untuk edisi khusus bulan ini: satu dari Sulawesi, dan satu dari Papua. Sementara menunggu kopi2 rasa nusantara itu (ingat Kopi Kampung), kita nikmati hari ini dengan Kopi Malang.

Page 2 of 2

Powered by WordPress & Theme by Anders Norén