Grinder ini sudah makin berumur. Dulu aku grinding 14 detik saja untuk menyiapkan bubuk untuk diproses dengan Mokka. Tapi kini diperlukan sekitar 20 detik grinding. Aroma kopi yang sangat akrab dan nyaman mengisi ruang. Sekilas terasa ada nuansa aroma coklat dan rempah-rempah pasar, seperti saat kita berjalan di pasar tradisional di Jawa. Inilah Robusta Temanggung.
Temanggung merupakan kawasan pegunungan di Jawa Tengah. Ketinggiannya memungkinkan penanaman kopi arabika. Namun di kawasan ini banyak ditanam juga kopi robusta, khususnya di lokasi yang relatif lebih rendah: Pringsut, Kranggan, Kaloran, Kandangan, Jumo, Gemawang, Candiroto, Bejen Wonoboyo. Sejarah kopi di Temanggung lebih banyak bercerita tentang penanaman di kebun-kebun kopi rakyat, alih-alih berupa perkebunan besar. Juga terdapat kebun kopi yang dikelola sebagai bagian dari kompleks biara katolik di Rawaseneng.
Robusta temanggung memiliki corak rasa berbeda dengan kebanyakan robusta lain. Rasa pahitnya pekat namun balance, dengan nuansa aroma rempah yang menenangkan. Keunikan ini mendorong banyak pembeli di mancanegara mencari kopi jenis ini.
Konon, kenyamanan menikmati kopi tidak selalu ditentukan oleh kualitas; tetapi juga oleh kebiasaan. Seorang rekan yakin bahwa kopi yang benar-benar kopi hanyalah Kapal Api. Dengan definisi semacam ini, buat aku yang tumbuh di kota Malang, rasa kopi standar adalah Kopi Hwie.
Di Pasar Klojen yang terletak di tengah kota Malang, terdapat toko Sido Mulia. Selain menjual kebutuhan rumah tangga, toko ini juga menjual kopi dengan merk Sido Mulia. Sido Mulia dikenal sebagai kopi yang memiliki rasa yang pekat dan aroma yang sangat khas, baik aroma kopi yang memenuhi toko maupun aroma kopi saat dijerang di rumah.
Perusahaan dan Toko Sido Mulia ini telah berdiri di Malang sejak tahun 1953. Pendirinya adalah Tjeng Eng Hwie. Banyak yang menyebut tokonya sebagai Toko Hwie, dan kopinya sebagai Kopi Hwie. Waktu masih tinggal di Malang, aku belum pernah baca ejaannya, dan cuma bisa menebak-nebak: Oei, Oey, atau Wie, hahaha. Kebijakan naturalisasi Pemerintah Indoenesia di awal 1960-an memaksa toko ini diubah namanya menjadi Sido Mulia, dan nama pemiliknya menjadi Witjaksono Tjandra. Saat ini, toko ini dikelola oleh generasi kedua, dipimpin Sonny Tjandra, dengan menjaga gaya tradisionalnya dalam pengolahan dan penjualan kopi.
Sido Mulia melakukan pemanggangan dan penggilingan kopi dengan standar mereka sendiri. Kemudian bubuk kopi dimasukkan ke dalam tong kedap udara. Rasanya dulu Sido Mulia hanya menjual kopi robusta. Biji kopi diperoleh dari perkebunan di daerah Dampit. Orang Malang pasti tahu daerah ini :). Namun kini mereka memproduksi juga kopi arabika yang diambil dari daerah sekitar Jember.
Tentu, sebagai kopi tradisional, Kopi Hwie lebih sedap dibrew. Dia ditargetkan untuk jadi kopi tubruk. Kalau dijadikan espresso, pahitnya terlalu kuat. Bisa dinetralkan dengan sedikit gula merah tapi.
Lain hari, kalau sempat berkunjung ke Malang, jangan cuma bawa apel dan tempe. Bawa juga Kopi Hwie yang pernah legendaris ini :).
Tapi memang seharusnya ada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah lainnya yang bisa menahan sekian persen produk Indonesia terbaik agar tetap dapat dipasarkan di Indonesia. Teh dan kopi misalnya :). Dengan lelang dan kontrak jangka panjang, teh dan kopi terbaik hampir seluruhnya diekspor. Dan untuk memperolehnya kembali, kita harus melakukan reimport, dalam jumlah yang tentu jauh lebih kecil. Harganya jadi menarik, karena sudah terbebani sekian kali tarif dan bea ekspor dan impor di setidaknya dua negara :). Biarpun tidak secara khusus, Starbucks melakukan reimpor kopi-kopi Indonesia, agar pengunjung asing dapat memperoleh suasana Indonesia dengan kopi Indonesia di Starbucks Indonesia. Importir lain yang cukup menarik adalah Caswell’s.
Cabang Caswell’s Café pertama di Indonesia dibuka di Kemang tahun 2000. Di sini, didapati bahwa banyak pengunjung yang menginginkan kopi Indonesia, yang tentu dipilih dari kualitas terbaik. Henry Harmon, pemilik Caswell’s, memutuskan memenuhi permintaan itu. Ia mengikuti pelatihan2 untuk menyiapkan kopi berkualitas tinggu, lalu mengimpor pemanggang kopi Diedrich Roaster dari US. Barulah ia melakukan reimpor kopi-kopi Java dari Seattle.
Aku sendiri bukan penganut gaya hidup Kemang :). Jadi malah belum berminat datang ke café itu. Sua pertama dengan kopi Caswell’s justru terjadi di Urban Kitchen Pacific Place, tempat Caswell’s sempat menempatkan café kecil. Di sana dijual juga biji2 kopi yang ditempatkan di stoples kaca. Ada Java Mocha, ada Java Jampit, dll. Pada Abang Barista, aku tanya bedanya, dan sambil senyum malu, di mengakui bahwa dia nggak tahu bedanya. Aku harus coba dua2nya. Haha. Mungkin aku yang harus cerita ke Abang Barista bahwa Jampit adalah nama salah satu perkebunan di Gunung Ijen yang menghasilkan Java Arabica. Jadi nama itu mengimplikasikan kopi arabica yang 100% berasal dari Jampit. Homogen. Sedangkan Java Mocha, mungkin hasil blend.
Di sebelah East Mall Grand Indonesia ada Ranch Market baru. Di sana aku bersua Caswell’s lagi. Kali ini sudah dalam kemasan kedap udara yang rapi, berwarna hitam, dengan label stiker yang berisi jenis kopi, lengkap dengan penjelasannya. Java Mocha ternyata adalah blend dari Java dengan sedikit tambahan dari Abyssinia (tempat kopi mocha yang asli berasal). Aku ambil dua bungkus kemasan seperempat kilo, satu Java Jampit dan satu Java Mocha.
Si Java Mocha menemaniku sahur dari hari pertama Ramadhan tahun ini. Digiling 13,7 detik dengan grinder kecilku, terus disedu dalam cafetière selama 5 menit. Perfect taste. Memang soal rasa itu subyektif, jadi aku juga nggak banyak bahas di blog ini :). Tapi ini terasa pas sekali untuk menutup sahur, sekaligus mencatu darah dengan kafein sepanjang hari-hari Ramadhan.
Sebelum mulai dengan Java, kita mulai lagi dengan sejarah kopi. Terdapat sebuah versi lain sejarah kopi yang tidak melibatkan domba. Masih dari Ethiopia, kisah ini hanya dimulai dari Ali al-Shadili yang gemar meminum sari biji kopi untuk membuatnya tetap terjaga demi menjalankan shalat malam. Tak lama, kopi menjadi komoditas yang diekspor ke Eropa, terutama dari daerah Kaffa di Ethiopia. Orang Eropa menamainya mocha. Bijinya tidak boleh diekspor, kecuali sudah dalam keadaan terpanggang, dan tak dapat ditanam lagi. Tapi penyelundup selalu ada. Tak lama, penjajah di nusantara sudah mulai membudidayakan tanaman kopi di Jawa.
Di Jawa, kopi mula2 ditanam di sekitaran Jayakarta, meluas ke Jawa Barat, dan kemudian lebih diperluas ke Jawa Timur, serta kemudian ke luar Jawa. Varietasnya arabika. Sebuah pameran yang digelar di AS (dengan dana yang cukup besar, ditanggung industri kopi Jawa) membuat publik Amerika mulai mengenal kopi dan menjuluki minuman ini sebagai Java. Nusantara, khususnya Jawa, menjadi pengekspor kopi terbesar dan terbaik di dunia. Malangnya, terjadi wabah di tahun 1880an, yang memusnahkan kopi arabika yang ditanam di bawah ketinggian 1km dpl, dari Shri Lanka hingga Timor. Brasil dan Colombia mengambil alih peran sebagai eksportir kopi arabika terbesar, sampai kini. Sementara itu, varietas kopi di sebagian besar Jawa diganti dengan liberika. Tapi tak lama, wabah yang serupa memusnahkan varietas ini juga, sehingga akhirnya 90% kopi di Jawa diganti dengan varietas robusta, kecuali di tempat yang betul2 tinggi.
Setelah para penjajah didepak, kebun2 kopi dinasionalisasi dan/atau diprivatisasi. Adalah BUMN bernama PTPN XII yang kini mengelola kopi yang disebut sebagai Java Estate. PTPN XII yang mengelola beberapa perkebunan di pegunungan Ijen (Jawa Timur) hingga kini tetap memelihara varietas arabika dengan kualitas amat tinggi. Kebun2nya terletak di Blawan (2500 ha), Jampit (1500 ha), Pancoer (400 ha), dan Kayumas (400 ha), dengan ketinggian antara 900 hingga 1600 m dpl. Hasil tahunan mencapai sekitar 4 ribu ton biji kopi hijau. 85% biji diekspor sebelum dipanggang. Kalau kebetulan menjenguk Starbucks di Bandung, dan mengamati ada sekantung kopi berlabel Java Estate, nah itulah kopi Jawa yang berkeliling dunia sebelum kembali ke negerinya.
Di dekat kawasan PTPN XII, terdapat juga perkebunan Kawisari dan Sengon, dengan luas 880 Ha, dan ketinggian lebih rendah dibandingkan kebun2 milik PTPN XII. Kopinya 95% robusta, dan sisanya arabika. Hasilnya banyak digunakan untuk industri kopi di sekitar Jawa Timur. Di Jawa Tengah, di kawasan Losari yang dikelilingi tak kurang dari 8 gunung berapi, terdapat juga perkebunan Losari (d/h Karangredjo). Losari dimiliki Gabriella Teggia, warga Italia yang sudah menetap di Indonesia sejak 1965.
Tahun 2003, Gabriella Teggia inilah yang menulis buku A Cup of Java bersama Mark Hanusz. Buku keren ini bercerita tentang sejarah kopi hingga masuk ke Jawa, tentang sejarah kopi di Jawa (termasuk tentang Multatuli dan Max Havelaar-nya), tentang Java Estate (dan menyinggung juga kopi2 keren lainnya: Mandailing Sumatra, Kalosi Toraja, dll), tentang kopi panggangan Jawa (termasuk Kopi Warung Tinggi Jakarta, Kopi Aroma Bandung, Kopi Kapal Api, dll), serta tentang budaya ngopi di Jawa. Di bagian Appendix, buku ini menampik mitos tentang Kopi Luwak.
Starbucks sempat menelepon minggu lalu, menawarkan dua kopi istimewa untuk edisi khusus bulan ini: satu dari Sulawesi, dan satu dari Papua. Sementara menunggu kopi2 rasa nusantara itu (ingat Kopi Kampung), kita nikmati hari ini dengan Kopi Malang.